Kasus kematian akibat gagal ginjal akut pada anak di Indonesia yang diduga karena pencemaran zat pelarut dalam proses pembuatan obat yakni etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE) membuat publik bertanya-tanya siapa pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut?
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999), pelaku usaha yakni produsen obat dapat dimintakan pertanggungjawaban jika terbukti melanggar aturan. Pasal 7 huruf d UU No. 8/1999 mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin mutu barang yang diproduksi berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku. Pertanggungjawaban ini merupakan implikasi dari hak konsumen yang dijamin dalam Pasal 4 UU No. 8/1999 yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tuntutan bagi produsen obat untuk selalu menjaga kualitas obat diperkuat dengan ketentuan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 UU No. 8/1999.
Adanya dugaan produsen obat mengubah komponen obat tanpa izin, maka patut diduga produsen obat melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf e UU No. 8/1999, “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.” Pelanggaran atas ketentuan pasal diatas dikenakan sanksi pidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 61 UU No. 8/1999. Jika terbukti, konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian lainnya yang dijamin dalam Pasal 4 huruf h UU No. 8/1999.
Selain produsen obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat dimintakan pertanggungjawaban pula. BPOM adalah bagian dari lembaga pemerintah yang berperan dalam mengawasi obat dan makananyang memiliki fungsi krusial, salah satunya dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 (Perpres No. 80/2017) yaitu pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar. Dalam Pasal 3 ayat (3) dijelaskan Pengawasan Selama Beredar adalah pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk memastikan Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar. Dengan kata lain, pengawasan oleh BPOM tetap berlanjut meskipun obat telah beredar dalam masyarakat. Di samping itu, BPOM diberikan wewenang untuk menerbitkan izin edar produk dan sertifikat serta pengujian obat sehingga menjadi pertanyaan besar bagaimana obat yang tercemar tersebut bisa lolos dari pengawasan BPOM, beredar dengan label izin edar dari BPOM sampai dengan menyebabkan kematian sebanyak 178 anak berdasarkan data tanggal 1 November 2022.
Dengan demikian, baik produsen obat atau BPOM memiliki porsi tanggung jawab masing-masing. Diharapkan para pihak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan kasus tersebut mengingat kejadian ini telah mengurangi bahkan menghilangkan hak anak untuk dapat hidup, tumbuh, dan berkembang.
Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.