Pada tanggal 22 November 2022, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan keputusan bahwa kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) tetap dilanjutkan. Sebelumnya, kasus tersebut sempat dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan telah dilakukannya upaya Restorative Justice (Keadilan Restoratif) antara korban dan para pelaku. Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Prinsip dasar Restorative Justice menitikberatkan pemulihan terhadap penderitaan korban akibat tindakan kejahatan yang ia alami. Bentuk pemulihan sendiri beragam mulai dari mengganti kerugian korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Keputusan Dirjen Badilum Mahkamah Agung RI Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), menjelaskan bahwa penyelesaian melalui Restorative Justice berlaku terhadap tindak pidana ringan, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak dan perkara narkotika. Tindak pidana ringan yang dimaksud adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Sedangkan dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, memberikan syarat-syarat dalam menerapkan Restorative Justice sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah);
d. telah ada pemulihan kembali oleh Tersangka dengan cara: mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban, mengganti kerugian Korban, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tinda pidana, dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
e. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
f. masyarakat merespon positif.
Penerapan Restorative Justice dikecualikan untuk perkara tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan, yang diancam dengan ancaman pidana minimal, narkotika, lingkungan hidup, dan yang dilakukan oleh korporasi.
Berdasarkan kedua ketentuan di atas, maka pembatalan SP3 atas kasus kekerasan seksual Kemenkop UKM sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pada prinsipnya, penerapan Restorative Justice harus sesuai dengan pertimbangan hukum yang matang. Berkaca dari kasus di atas, kita perlu memahami kembali konsep dan penerapan Restorative Justice. Jangan sampai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana ini dimanfaatkan oleh para pelaku tindak pidana untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya serta menghilangkan akses korban untuk memperoleh keadilan.
Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.