Perppu Cipta Kerja: Bagaimana Pandangan Akademisi HTN-HAN?

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu No. 2/2022) pada tanggal 30 Desember 2022 menuai berbagai macam kritik termasuk dari kalangan akademisi hukum. Melalui Webinar Nasional APHTN-HAN berjudul “Perppu Cipta Kerja: Bagaimana Pandangan Akademisi HTN-HAN?” pada 5 Januari 2023, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H., berpendapat tidak ada alasan untuk membentuk dengan Perppu untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini dikarenakan MK telah memberikan waktu yang cukup yaitu 2 (dua) tahun sejak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 untuk melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Di samping itu, ada permintaan dari MK untuk melibatkan partisipasi publik. Namun, proses penyusunan Perppu yang dikarenakan alasan “mendesak” menjadi alasan pembenaran untuk meniadakan partisipasi publik.

Dr. Khairul Fahmi, S.H., M.H., akademisi FH Universitas Andalas menyatakan bahwa subjectivity Presiden untuk menilai ihwal kegentingan memaksa sudah diberikan kerangka oleh MK melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Presiden terikat pada kriteria atau parameter yang diharuskan untuk bisa dipertanggungjawabkan secara konsitusi ketika itu hendak dibawa ke DPR. Parameter ada atau tidaknya ihwal kegentingan memaksa, yaitu (1) adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, (2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai, dan (3) kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.

Terakhir, Dr. Oce Madril, S.H., M.A., Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintah (PUSHAN) menilai Perppu No. 2/2022 belum memenuhi unsur dari sisi kekuasaan diskresi. Pertama, tidak ada sisi stagnasi, produk perizinan yang didasarkan pada UU Cipta Kerja seperti sistem Online Single Submission (OSS) tidak berhenti bekerja ketika UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Kedua, tidak ada kekosongan hukum karena semua regulasi teknis turunan dari UU Cipta Kerja itu sebetulnya masih berlaku. Ketiga, kepentingan umum, sebetulnya tidak ada persoalan. Kalaupun kemudian ada kepentingan umum yang merasa terciderai jika UU Cipta Kerja tidak dapat berjalan secara efektif, maka tentu harusnya ada evaluasi yang dilakukan dari pemerintah atau parlemen yang menunjukkan bahwa ada stagnasi atau kepentingan umum yang terlanggar.

Pasal 22 UUD NRI 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden secara subjektif untuk menerapkan kegentingan memaksa. Jika menggunakan prinsip rechtmatigheid, maka kebijakan pemerintah ini adalah kebijakan yang sah sampai ia dinilai dengan mekanisme yang sesuai dengan hukum, kesatu dinilai oleh DPR, kedua dinilai oleh MK baru kemudian keabsahaannya bisa kita nilai. Penting untuk melihat sejauh mana sebetulnya efektivitas UU Cipta Kerja, hal ini agar kita dapat melihat apakah sistem yang diciptakan oleh UU Cipta Kerja sudah kompatibel dengan infrastruktur yang ada. Demikian, kita dapat melihat apakah materi atau norma terkait sudah bisa diterapkan atau tidak.

Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.