Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023, mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002) dengan bunyi, “Menyatakan sepanjang frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak…. bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026”,…”
Dalam permohonan pengujian, Nurhidayat selaku Pemohon I menilai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 memposisikan Pengadilan Pajak berada di bawah kekuasaan Kementerian Keuangan yang tentunya akan menimbulkan kesan keberpihakan. Ketentuan tersebut telah merusak independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari kekuasaan eksekutif yang mengakibatkan kerugian hak konstitusional Pemohon I untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penanganan perkara di Pengadilan Pajak sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, MK mengakui adanya dualisme kewenangan pembinaan pada Pengadilan Pajak yang mana diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sedangkan berkenaan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kementerian Keuangan. Lebih lanjut, MK berpendapat “…makna pembinaan secara universal adalah melakukan bimbingan baik secara teknis yudisial maupun non yudisial, di mana kedua hal tersebut berpotensi tumpang tindih (overlapping) karena tidak dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan pilar akan kemandirian lembaga peradilan.”
Meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangan, terdapat potensi dimana lembaga lain mempengaruhi kemandirian badan peradilan khususnya Pengadilan Pajak. Tanpa independensi dalam lembaga peradilan, maka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa akan semakin besar.
Mengingat pembentukan Pengadilan Pajak berdasarkan UU 14/2002 dimana UU ini memiliki beberapa kekhususan dibanding dengan pengadilan lainnya dan adanya perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 dan perubahan UU 48/2009, maka Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus yang termasuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara di bawah MA. Hal ini sejalan dengan Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang menegaskan posisi Pengadilan Pajak bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.
Dengan demikian, sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak dimana pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan MA, tanpa adanya campur tangan lembaga lain. Terakhir, MK menyatakan, “Bahwa dengan diwujudkannya sistem peradilan satu atap maka akan diperoleh adanya badan peradilan yang terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak lain, hal ini membuktikan fungsi lembaga peradilan yang memberikan keadilan secara independen benar-benar dapat dinikmati oleh para pencari keadilan (justiciabelen) dan dengan sendirinya keadilan dan kepastian hukum adalah keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dan dipercaya publik.”
Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.