Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penipuan Arisan Online

Arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota  memperolehnya (W.J.S Poerwadarminta, 2007). Kegiatan arisan berkembang dalam kehidupan masyarakat karena dapat menjadi sarana tabungan dan sumber pinjaman bagi semua orang, termasuk orang miskin. Menjadi anggota kelompok arisan berarti memaksa diri menabung, dan suatu saat dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik produktif maupun konsumtif (Magdalena Sukaryanti Malau, Tulus Siambaton, and Uton Utomo. 2019). Secara sederhana arisan adalah kegiatan dimana sekelompok orang bersepakat untuk masing-masing menyetorkan uang, untuk dikumpulkan pada waktu tertentu, kemudian ketika uang atau iuran terhimpun semua maka salah satu dari partisipan akan ditetapkan menjadi pemenang dan berhak atas uang yang telah dikumpulkan tadi.

Seiring berkembangnya zaman arisan tetap bertahan dan masih diterapkan oleh berbagai kalangan masyarakat hingga saat ini. Bahkan dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang  mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dunia maya (virtual reality), kegiatan arisan pun turut berubah mengikuti perkembangan teknologi. Kegiatan arisan yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka pun kini dapat dilakukan melalui media sosial berbasis internet. Akan tetapi, di Indonesia arisan online sangat beresiko tinggi terjadinya tindak pidana penipuan. Hal ini didukung dengan perilaku masyarakat yang cenderung mudah tergiur terhadap iklan-iklan yang diunggah melalui berbagai platform maupun sosial media yang menjanjikan keuntungan besar.

Dalam UU ITE mengatur mengenai setiap jenis tindak pidana penipuan yang dilakukan melalui media elektronik atau yang biasa dikenal dengan penipuan online. Lebih spesifik penipuan online termasuk cybercrime khususnya Illegal Contents yakni jenis kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Arisan online menjadi bentuk penipuan online apabila informasi yang disampaikan tidak benar Dengan kata lain, penipuan arisan online masuk ke dalam Illegal Contents karena data atau informasi yang diberikan merupakan informasi yang tidak benar, melawan hukum serta menggunakan web sebagai sarana kejahatan.

Berdasarkan laporan survei Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mencatat 1.730 konten penipuan online selama Agustus 2018 sampai dengan 16 Februari 2023. Didukung oleh studi CFDS UGM terhadap 1.700 responden di 34 provinsi pada Agustus, sebanyak 66,6% pernah menjadi korban penipuan online. Dalam riset tersebut, ada lima jenis penipuan yang paling banyak diterima responden sebagai berikut : 36,9% berkedok hadiah, 33,8% mengirim tautan (link), 29,4% penipuan jual beli seperti di Instagram dan lainnya, 27,4% melalui situs web atau aplikasi palsu, 26,5% penipuan berkedok krisis keluarga. Selain itu, media atau platform penipuan onlinenya pun bermacam-macam. Lebih banyak, riset tersebut mengatakan bahwa SMS/telepon menjadi media utama dalam kasus penipuan online, di mana mencapai 64,1%. Kemudian, ada pula Media sosial mencapai 12,3%, aplikasi percakapan mencapai 9,1%, situs web mencapai 8,9% hingga email mencapai 3,8%.

Dilihat dari unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No.1/2023) yang mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan, dapat dijabarkan sebagai tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Dalam arisan online para pelaku melakukan berbagai modus melalui platform termasuk sosial media memungkinkan untuk memalsukan identitasnya, serta menawarkan keuntungan besar apabila para anggota arisan bersedia mengikuti arisan tersebut dan menyetorkan sejumlah uang.

Namun di lain sisi, Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU No.1/2023 tidak mengatur secara jelas penipuan arisan online melalui teknologi baik platform maupun sosial media. Pasal tersebut di atas hanya mengatur perbuatan penipuan itu sendiri. Sehingga alternatif pemidanaan terhadap tindak pidana penipuan arisan online yakni menggunakan Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No.19/2016). Sebagai contoh, dalam Putusan Nomor 224/Pid.Sus/2019/PN Sbw, Terdakwa membuat list arisan jual dimana pembayaran arisannya lebih besar dari jumlah uang pembelian arisan tersebut yang kemudian diposting di media sosial Facebook. Setelah pembeli membayar sejumlah uang kepada Terdakwa, para pembeli arisan tidak mendapatkan keuntungan sebagaimana telah diperjanjikan melainkan mengalami kerugian. Berdasarkan fakta tersebut, tindakan Terdakwa memenuhi unsur Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45A ayat (1) UU No.19/2016 yang menegaskan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Demikian, Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Sebagai catatan, ketentuan Pasal 45A ayat (1) UU No.19/2016 ini mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU No.1/2024). Namun secara substansi, perubahan pasal tidak menghilangkan unsur-unsur pemidanaan yang mana dijelaskan sebagai berikut : “Setiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian material bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penulis: Gita Rismawati (Mahasiswa Magang)