Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Terhadap Laki-Laki Sebagai Korban

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan, dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Berdasarkan bentuknya, pelecehan seksual dibagi menjadi pelecehan seksual non-fisik dan pelecehan seksual fisik. Pelecehan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Yang dimaksud dengan pelecehan seksual secara non-fisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Contoh pelecehan seksual non-fisik antara lain siulan, kedipan mata, ucapan yang bernuansa seksual, ajakan melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan alat kelamin, merekam atau memfoto secara diam-diam tubuh seseorang.

Sementara pelecehan seksual fisik yakni perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Maksudnya keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain. Contoh pelecehan fisik antara lain sentuhan, usapan, colekan, dekapan, dan/atau ciuman.

Pelecehan seksual umumnya terjadi pada perempuan sebagai korbannya. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang menganut paham stereotip maskulinitas yakni pandangan bahwa laki-laki selalu menjadi pelaku. Akan tetapi, pada dasarnya pelecehan seksual tidak memandang siapa korbannya, seperti kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang laki-laki pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh 5 (lima) rekan kerjanya yang juga sesama laki-laki. Dari pengakuan korban pelecehan seksual ini sudah terjadi sejak ia bekerja di KPI pada tahun 2015 lalu.  Korban sudah pernah melaporkan kasus pelecehan seksual ini ke pihak atasan dan Polsek Gambir pada tahun 2019 namun laporannya tidak pernah ditindaklanjuti. Akibat dari peristiwa ini, korban divonis depresi mayor sehingga harus mengkonsumsi obat dengan dosis tinggi.

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh SIMFONI-PPA (KemenPPPA, 2023) menunjukkan bahwa pelecehan seksual dapat dialami oleh korban laki-laki yang mana jumlah kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki yang terjadi di tahun 2023 sebanyak2.888 kasus. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di tahun 2023 ini, terdiri dari beberapa karakteristik, yaitu Korban laki-laki berdasarkan usia balita umur 0-5 tahun 13,9%, anak-anak 6-12 tahun 30,1%, remaja 13-17 tahun 39,2,%, dewasa awal 18-24 tahun 4,8%, dewasa akhir 25-44 tahun 9%, middle age 45-59 tahun 2,5%, Lansia 60 tahun 0,5%. Korban berdasarkan tempat kejadian di Lembaga Pendidikan Kilat 0,1%, Fasilitas Umum 11,3%, Sekolah 4,1%, Lainnya 24,7%, tempat kerja 1,4%, rumah tangga 58,3%. Contoh kasus dan data tersebut diatas membuktikan bahwa pelecehan seksual terhadap korban laki-laki adalah fakta yang tak terbantahkan. Baik perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk menjadi pelaku atau korban pelecehan seksual sehingga tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan perlakuan berbeda antara korban perempuan dan korban laki-laki.

Untuk menjangkau korban laki-laki, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dijelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. Ketentuan tersebut menyebutkan ‘orang’ secara umum, tanpa memandang jenis kelamin ataupun gender tertentu sehingga semua kelompok dapat menjadi korban berdasarkan definisi tersebut. Pemidanaan pelecehan seksual non-fisik diatur dalam Pasal 5 UU TPKS yang dirumuskan sebagai berikut: “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”

Selanjutnya pemidanaan terhadap pelecehan fisik diatur dalam Pasal 6 UU TPKS dengan bunyi sebagai berikut:

a. Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

b. Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Perlu diketahui bahwa korban mempunyai hak untuk memperoleh hak restitusi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU TPKS “Selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan Undang-Undang, hakim wajib menetapkan besarnya Restitusi terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”. Ketentuan ini diperkuat dengan adanyaPasal 30 ayat (1) yang menyatakan, “Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.” Serta Pasal 30 ayat (2) yang menyatakan, “Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual; c. penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau d. ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Selain restitusi, Korban juga mendapatkan pendampingan hukum dan hak lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 71 UU TPKS.

Sebagai catatan, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU No. 1/2023) yang berlaku 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya, istilah pelecehan seksual tidak dikenal, melainkan hanya dikenal sebagai perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 414 - Pasal 422 UU No. 1/2023.

Demikian sanksi pidana yang dapat diterapkan bagi pelaku pelecehan seksual terhadap korban laki-laki. Melihat bagaimana glorifikasi sifat maskulin yang menjadi bumerang bagi laki-laki, sudah saatnya anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif secara seksual membuat mereka kerap kali dituding “menikmati keuntungan” dari pelecehan seksual yang menimpanya harus dihilangkan guna memberikan akses bantuan hukum dan keadilan bagi para korban tanpa memandang gender.

Penulis: Gita Rismawati (Mahasiswa Magang)