Baru-baru ini polemik pejabat negara yang maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diperdebatkan oleh berbagai macam kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan dari ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, tiga diantaranya masih menduduki jabatan negara. Dimana para calon presiden dan wakil presiden tersebut dapat mengajukan cuti sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 (PP No. 53/2023) Pasal 18 ayat (1) dan ayat (1a) yang berbunyi:
(1)“Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.”
(1a)“Menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin Cuti dari Presiden.”
Namun, yang menjadi pertanyaan apakah ketentuan Peraturan Pemerintah No. 53/2023 yang menyatakan Pejabat Negara tidak harus mengundurkan diri tetapi cukup dengan mengajukan izin cuti guna melaksanakan masa kampanye sudah sesuai dengan Etika Publik?
Perlu diketahui bahwa Pejabat Negara merupakan salah satu profesi yang menuntut individu untuk tidak hanya memenuhi tanggung jawabnya tetapi juga menunjukkan etikanya di mata publik. Franz Magnis Suseno menjelaskan secara konsep dan praktiknya, etika terbagi menjadi dua, yaitu (1) etika umum yang memeriksa prinsip atau nilai dasar bagi segenap perilaku atau tindakan manusia dan (2) etika khusus yang menjabat terkait prinsip-prinsip atau nilai atas perilaku atau tindakan manusia dalam korelasinya dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya. Konsepsi pemaknaan etika publik pada formulasi yang sudah dirancang oleh Haryatmoko yang menyebut bahwa etika publik ini sesungguhnya menegaskan pada standar dalam menentukan bahkan menilai suatu tindakan Pejabat Negara itu baik atau buruk di dalam ranah pelayanan publik.
Untuk mengetahui apakah seorang Pejabat Negara menunjukkan etikanya yakni dengan melihat apakah ia memenuhi tanggung jawabnya selaku Pejabat Negara. Dennis F. Thompson mengemukakan adanya tiga macam tanggung jawab pejabat secara moral yaitu :(1) Tanggung jawab hierarkis, yaitu tanggung jawab untuk suatu produk politik yang dibebankan pada orang yang berkedudukan paling tinggi dalam rantai wewenang formal dan informal. (2) Tanggung jawab kolektif, didasarkan atas pemikiran bahwa banyak produk politik merupakan hasil dari tindakan banyak orang yang berbeda-beda, sehingga kontribusi individual mungkin tidak dapat diidentifikasikan sama sekali dan tentu saja tidak dapat benar benar dibedakan dari kontribusi orang lain. (3) Tanggung jawab pribadi, yang mengaitkan tanggung jawab dengan pejabat sebagai pribadi, dan bukannya sebagai pemangku jabatan tertentu atau sebagai anggota kolektivitas, mengandalkan dua kriteria tanggung jawab moral.
Berkaca dari penjelasan diatas, dapat kita pahami betapa kompleksnya tanggung jawab seorang Pejabat Negara. Di satu sisi ia harus memenuhi tugas pelayanan terhadap masyarakat dan pemerintah. Namun di sisi lain, ia tetap harus menunjukkan loyalitasnya terhadap partai politik atau kelompok pendukungnya. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara beban tanggung jawab Pejabat Negara sehingga sering kali salah satu tanggung jawabnya menjadi tidak terpenuhi. Tidak hanya itu, rata-rata Pejabat Negara memiliki pengaruh besar terhadap instansi atau kelompok tertentu yang mana menimbulkan potensi konflik kepentingan (conflict interest) dan tidak mungkin potensi konflik kepentingan tersebut bisa menghilang meskipun Pejabat Negara mengambil cuti untuk melakukan kampanye pencalonan presiden dan wakil presiden.
Demikian, ketentuan Pasal 18 PP No. 53/2023 yang menyatakan Pejabat Negara tidak harus mundur dari jabatannya melainkan mengajukan cuti tidak menunjukkan sifat netralitas dan tidak menghilangkan potensi konflik kepentingan. Kekhawatiran lain ialah akan ada momen dimana pejabat negara mencampuradukan kepentingan pribadi dan kepentingan negara seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh Pejabat Negara diperuntukan untuk kepentingan calon tertentu atau menguntungkan diri sendiri, menggunakan fasilitas negara untuk keperluan kampanye, agenda pejabat negara yang dimanfaatkan dalam masa kampanye di berbagai tempat, dan seterusnya. Maka berdasarkan etika, sudah sepatutnya para pejabat negara yang mengajukan diri menjadi calon presiden maupun wakil presiden dapat menentukan sikap tegas mundur dari jabatannya sebagai bentuk integritas dalam berpolitik di Indonesia.
Penulis: Vania Romasta Siahaan (Mahasiswa Magang)