Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan berita kenaikan pajak hiburan yang akan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Pajak hiburan adalah pajak yang dikenakan atas semua hiburan dengan memungut bayaran, yang diselenggarakan pada suatu daerah. Ketentuan kenaikan pajak hiburan telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkannya.
Dalam UU HKPD pajak hiburan termasuk kedalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yakni pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu. Besaran tarif pajak hiburan telah ditetapkan dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang dirumuskan: Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan pendapatan usaha. Karena pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah. Penerapan tarif pajak ini diharapkan akan meningkatkan pendapatan asli daerah. UU HKPD memberi ruang kepada pemerintah daerah, dengan memberikan kewenangan/diskresi untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sesuai dengan kondisi perekonomian di wilayah masing-masing, termasuk di dalamnya dalam menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu dalam rentang tarif 40% hingga 75%.
Namun kenaikan pajak hiburan ini mendapatkan kritikan dari berbagai pihak salah satunya penyanyi dangdut dan pemilik tempat hiburan Inul Daratista, Inul yang juga mewakili Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (Aperki) menyampaikan bahwa tarif pajak yang tinggi dapat membuat para pengusaha karaoke gulung tikar hingga berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini dilatari selain harus membayar pajak pengusaha yang bersangkutan juga harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk membayar royalti hingga membayar maintenance serta beberapa kebutuhan lain seperti penyewaan tempat.
Lebih lanjut, Inul menjelaskan rincian data besaran tarif pajak yang harus dia bayar yakni meliputi: Pajak Dispenda 40%, Pajak Karyawan PPH 21%, Tarif Progresif maksimal 15%, Pajak Badan PPH 25% untuk PT (setiap bulan), pendapatan Bruto 4,8M - 50M dikenakan 11% diatas 50M dikenakan 22%, PPN pembelian barang dari Vendor dikenakan 11% (sejak April 2022), pembayaran sewa 10%, serta kebutuhan lain seperti service charge, maintenance, royalti, gaji karyawan, listrik dll. Jika dihitung kurang lebih Inul harus membayar pajak keseluruhan hampir 100% sehingga kebijakan dalam UU HKPD dianggap dapat mematikan usaha pengusaha dibidang hiburan.
Pengusaha di bidang hiburan yang merasa dirugikan atau terbebani dengan ketentuan kenaikan besaran tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penolakan terhadap UU HKPD atas pemberlakuan tarif pajak hiburan.
Selain judicial review, para pengusaha dapat mengambil pilihan lain yakni mengajukan insentif fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 101 UU HKPD. Menurut Pasal 101 ayat (1) dan ayat (2) UU HKPD, Gubernur/Bupati /WaliKota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
Pemberian insentif fiskal ini dijabarkan dalam Pasal 99 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mengamanatkan bahwa insentif fiskal dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak (WP) atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan: (1) kemampuan membayar WP; (2) kondisi tertentu objek pajak; (3) mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; (4) mendukung kebijakan daerah untuk mendukung program prioritas daerah; (5) mendukung kebijakan pemerintah dalam pencapaian prioritas nasional.
Selanjutnya memperhatikan faktor: (1) kepatuhan membayar dan pelaporan pajak oleh WP selama 2 (dua) tahun terakhir; (2) kesinambungan usaha WP; (3) kontribusi usaha dan penanaman modal WP terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja; (4) faktor lain yang ditentukan oleh Kepala Daerah.
Meskipun telah diatur jalan keluar terkait kenaikan pajak hiburan melalui insentif fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 101 UU HKPD, akan tetapi tidak semua pengusaha berencana untuk mengajukan insentif fiskal sebagai jalan keluar. Pertimbangan lainnya yakni meminta Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hal ini dikarenakan kenaikan pajak 40%-75% berpotensi mematikan sebagian atau bahkan seluruh usaha dibidang hiburan yang mana berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap terancamnya 20 juta tenaga kerja. Presiden memiliki kewenangan mutlak untuk membentuk Perppu dengan harapan Perppu dapat menyelesaikan permasalahan.
Penulis: Gita Rismawati (Mahasiswa Magang)