Dalam membacakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023, suara Hakim MK Arief Hidayat dan Guntur Hamzah terdengar lebih emosional dan bergetar tidak seperti biasanya. Betapa tidak emosional, sebab Putusan MK No. 140/PUU-XXI/2023 memberikan titik terang bagi para pemohon yang merupakan lima perempuan yang menghadapi situasi pengambilan anak secara paksa oleh mantan suami pasca perceraian dan tidak dapat melaporkan tindakan tersebut ke aparat penegak hukum dengan alasan yang mengambil paksa adalah ayah kandung dari anak sehingga tidak bisa dipidana dengan Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Adapun bunyi Pasal 330 ayat (1) KUHP yakni “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Permasalahan bunyi Pasal 330 ayat (1) KUHP ada pada frasa “barangsiapa” sehingga dalam gugatan tersebut para pemohon menginginkan agar Pasal 330 ayat (1) KUHP yang memiliki frasa 'barang siapa' diubah menjadi 'setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak'. Dalam Putusan MK No. 140/PUU-XXI/2023, MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, namun MK menegaskan bahwa frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHP juga termasuk ayah dan ibu dari anak yang membawa pergi anak. Penegasan ini memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum untuk tidak ragu dalam menindaklanjuti laporan adanya perampasan hak asuh anak.
Sebagaimana dinyatakan oleh Komnas Perempuan, Putusan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat akses perempuan pada hak keadilan dan hak perempuan terkait perkawinan. Tindakan ini juga diakui oleh Komnas Perempuan sebagai tindak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dimana ini adalah cara yang digunakan pelaku untuk menyatakan kuasa kendali suami/laki-laki pada pihak istri/perempuan ataupun sebagai balas dendam atas kondisi yang tidak dapat ia kendalikan ketika istri bersikeras untuk bercerai.
MK sendiri berpendapat bahwa orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis. Dalam konteks masih dalam ikatan perkawinan atau yang belum terjadi perceraian, akibat perbuatan demikian dapat dikenai tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Demikian, MK menguraikan bahwa dalam hal terjadi sesuatu yang tidak tidak dapat dihindarkan, maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
Penulis: Gita Rismawati, SH.