Sebagai negara demokrasi, kritik dan perdebatan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan politik Indonesia. Keduanya adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilar pengawal jalannya pemerintahan yang sehat. Kebebasan berpendapat termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Konsekuensi atas jaminan tersebut ialah warga negara bebas untuk mengungkapkan pikiran, pendapat, atau pandangan tanpa diliputi oleh rasa takut. Dalam konteks demokrasi pula, kritik juga dapat menjadi alat untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan demi tercapainya good governance (algemene beginselen van behoorlijke bestuur). Dengan kata lain, kritik adalah mekanisme penting yang memungkinkan masyarakat untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja dan kebijakan pemerintah, termasuk Presiden.
Akan tetapi, kebebasan berpendapat ini terancam oleh eksistensi pasal Penghinaan Presiden yang diatur dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru). Contoh nyatanya yakni Rocky Gerung dilaporkan oleh tim relawan Presiden Joko Widodo setelah melontarkan kritikan kontroversial yang berbunyi “Presiden bajingan tolol”. Terlepas dari subtansi kritik yang terkesan “kasar”, dimasukkannya pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP baru memang menuai polemik. Sebab pasal Penghinaan Presiden merupakan produk hukum kolonial yang seharusnya dihapuskan karena sifatnya anti-demokrasi. Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan.
Presiden adalah jabatan yang tentu harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Baik kritik maupun pujian dari individu kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritikan kontroversial tidak dapat dikatakan sebagai suatu penghinaan selama tidak ditujukan bagi perorangan, kritikan kontroversial ini dapat ditujukan untuk mengkritik tindakan individu dalam menjalankan fungsi dan jabatan publik sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan demi tercapainya good governance.
Penulis: Gita Rismawati, SH.