Perjanjian Pinjam Nama (Nominee Agreement)

Perjanjian Pinjam Nama merupakan hal yang cukup baru di Indonesia, hal ini dapat kita lihat dari belum adanya peraturan yang secara eksplisit mengatur mengenai perjanjian ini termasuk karena perjanjian ini tumbuh dan berkembang di masyarakat. Perjanjian pinjam nama merupakan perjanjian yang sering dipakai oleh Warga Negara Asing (WNA) yang ingin berbisnis dengan membeli aset berbentuk tanah yang ada di Indonesia. Perjanjian pinjam nama merupakan perjanjian yang disusun antara dua pihak untuk menunjuk perwakilan untuk pinjam nama agar diberikan kewenangan untuk kepentingan pihak yang lain. Perjanjian tersebut biasanya kerap disusun oleh notaris dalam bentuk akta, namun apakah hal ini sah secara hukum dan memiliki kekuatan mengikat?

Di lain sisi, pengaturan mengenai hak atas tanah ini diatur pada Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjelaskan bahwa hak milik atas tanah tersebut hanya bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia. Nominee Agreement ini adalah perjanjian yang kerap disalahgunakan oleh WNA untuk menghindari peraturan ini. Hak milik tanah merupakan hak mutlak bagi pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) dan tidak berbatas waktu. Para pihak asing sendiri sudah diatur haknya jika ingin berbisnis dengan menggunakan tanah atau bangunan di Indonesia. Hal tersebut diatur dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak sewa untuk bangunan yang diatur pada Pasal 28-45 UUPA.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 144/PDT/2021/PT DPS menyatakan bahwa Perjanjian Pinjam Namatidak memenuhi unsur “Suatu sebab yang halal”. Unsur tersebut merupakan syarat sahnya sebuah perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata. Hal mengenai memindahkan kembali tanah juga diatur Pasal 26 Ayat (2) UUPA yang berbunyi:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut Kembali”

Melalui Putusan ini, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pinjam Nama dalam hal memindahkan hak atas tanah yang digunakan oleh WNA guna “mengakali” Pasal 21 UUPA tidak memenuhi unsur/syarat sahnya sebuah perjanjian dan menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA menjelaskan bahwa dalam hal pemindahan hak milik kepada WNA, perjanjian pinjam nama ini batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.

Adapun terhadap WNI yang meminjamkan namanya dalam perjanjian tersebut, secara otomatis bertanggung jawab terhadap pajak dan pemeliharaan atas tanah yang menjadi objek perjanjian. Sementara itu, notaris yang turut serta dalam menyusun perjanjian pinjam nama tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara administratif, perdata maupun pidana. Karena dalam menjalankan profesinya, seorang notaris harus tunduk pada kode etik, UU Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Notaris berwenang atas setiap akta yang dibuatnya, sehingga jika terdapat suatu kelalaian atau kesalahan atas akta yang dibuatnya, notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Penulis: Lounes Abednego M. (Mahasiswa Magang)