Pada tanggal 3 Februari 2025 DPR RI telah mengesahkan Perubahan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Perubahan ini salah satunya menambahkan pasal 288A yang berbunyi:
"(1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR."
Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah melalui proses uji kelayakan (fit and proper test) di DPR. Hasil evaluasi tersebut bersifat mengikat dan disampaikan pada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Namun perubahan ini tidak disambut baik dan menuai kritik dari berbagai pihak mulai dari akademisi hingga pejabat. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan tata tertib atau tatib DPR tidak bisa mengikat ke luar lembaga dan menepis argumen bahwa tatib DPR ini adalah sebuah langkah nyata dalam melaksanakan fungsi pengawasan legislatif dengan mengatakan bahwa fungsi pengawasan harus dilakukan bukan melalui tatib, melainkan lewat undang-undang dan penganggaran.
Dalam forum seminar Constitution Talks #5 yang diadakan oleh PSHTK Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang bekerja sama dengan PSHK Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) yang bertema Evaluasi Pejabat Oleh DPR: Penguatan Atau Pelemahan Konstitusi? tersebut membahas apa saja yang menjadi isu dalam perubahan Tatib DPR, serta diadakannya sesi tanya jawab guna meningkatkan awareness masyarakat terkait urgensi “People Constitutionalism” dalam mencegah tindakan sewenang-wenangan serta menjaga agar tiap lembaga tetap berada didalam batas-batas kekuasaannya masing-masing sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam diskusi mengenai mekanisme check and balances yang berlangsung antara para pembicara yakni Titon Slamet Kurnia selaku peneliti PSHTK dan Idul Rishan selaku dewan pakar PSHK, dapat disimpulkan dari diskusi tersebut bahwa prinsip check and balances dalam konteks Perubahan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Pasal 288A terdapat pro dan kontra terkait bagaimana penerapannya dalam ranah kekuasaan. Salah satu argumen yang muncul adalah bahwa mekanisme ini merupakan bagian dari sistem pengawasan yang seharusnya diterapkan dalam berbagai aspek pemerintahan. Namun, dalam konteks kekuasaan yudisial, terdapat batasan yang tidak bisa dilanggar. Jika sistem checks and balances diterapkan pada hakim dengan alasan evaluasi kinerja, hal ini menyalahi prinsip dasar independensi peradilan dan juga pembatasan kekuasaan antara Eksekutif, Legislatif dan, Yudikatif.
Titon berpendapat bahwa hakim dievaluasi bukan oleh lembaga politik, melainkan melalui kajian akademik seperti anotasi atau case note terhadap putusannya. Bahkan, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan jurnal konstitusi yang berisi kritik terhadap putusannya, yang menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi telah berjalan secara independen. Oleh karena itu, jika ada upaya lembaga politik untuk turut campur dalam evaluasi hakim, hal ini dapat dianggap sebagai intervensi yang “salah alamat” dan mengancam independensi yudisial.
Di sisi lain, Idul Rishan berpendapat, jika checks and balances diterapkan dalam lingkup eksekutif, ruang untuk diskusi masih terbuka. Namun, tetap ada batasan yang harus diperhatikan. Misalnya, dalam proses persetujuan pejabat publik oleh DPR, seperti Kapolri, Panglima TNI, atau Duta Besar, apakah mereka juga harus tunduk pada evaluasi DPR setelah menjabat? Jika logika tersebut diterapkan, maka semua pejabat publik yang disetujui DPR dapat ditarik kembali oleh lembaga legislatif. Ini berbahaya karena bisa mengarah pada sistem parlementer, di mana DPR memiliki kewenangan lebih besar dalam menentukan dan mencabut jabatan eksekutif. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa checks and balances diterapkan secara tepat, yakni untuk mengawasi kebijakan, bukan individu yang memegang jabatan. Jika tidak, maka independensi lembaga, baik yudisial maupun eksekutif, akan terancam oleh kepentingan politik.
Penulis: Adalbert Mayhard Tiwa & Lounes Abednego M. (Mahasiswa Magang)