Paham Komunisme dan Marxisme-Leninisme merupakan paham politik dan ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa adanya hierarki, dimana alat-alat produksi atau mesin pabrik guna untuk menghasilkan komoditi dimiliki secara kolektif oleh rakyat. Komunisme, Marxisme, dan Leninisme adalah tiga paham yang saling berkaitan namun memiliki perbedaan mendasar dalam konsep dan penerapannya. Komunisme bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas sosial, dimana alat produksi dimiliki secara kolektif dan distribusi hasil produksi dilakukan berdasarkan kebutuhan. Marxisme, yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, menganalisis perkembangan masyarakat melalui lensa perjuangan kelas antara borjuis dan proletariat, serta meramalkan transisi dari kapitalisme ke sosialisme dan akhirnya komunisme. Sementara itu, Leninisme, yang dipelopori oleh Vladimir Lenin, memperkenalkan konsep partai pelopor (Vanguard Party) sebagai alat untuk memimpin revolusi proletariat dan mendirikan kediktatoran proletariat sebagai tahap menuju masyarakat komunis.
Meskipun ketiga paham ini memiliki tujuan yang serupa, yaitu menciptakan masyarakat yang setara, terdapat perbedaan signifikan dalam pendekatan dan strategi yang digunakan. Misalnya, Marxisme menekankan peran perjuangan kelas sebagai motor perubahan, sementara Leninisme menambahkan elemen organisasi partai yang terpusat dan disiplin. Selain itu, pandangan mereka terhadap agama juga berbeda: Marxisme mengkritik agama sebagai “candu masyarakat”, sedangkan Leninisme dalam praktiknya sering mengambil sikap yang lebih agresif terhadap praktik keagamaan. Di Indonesia, ketiga paham ini pernah memiliki pengaruh signifikan, terutama melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30SPKI), penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme dilarang berdasarkan ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966.
Hingga kini komunisme tetap menjadi topik sensitif di Indonesia, dengan berbagai regulasi yang melarang penyebaran ajaran tersebut. Larangan tersebut tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) yakni dalam Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru yang berbunyi “setiap orang yang menyebarkan dan mengembangkan paham komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun di pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun.”
Meskipun terdapat pengecualian pada Pasal 188 ayat (6) KUHP Baru yang berbunyi, “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.” Penjelasan dari pasal 188 ayat (6) KUHP Baru hanya menegaskan bahwa “kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme” untuk kepentingan ilmu pengetahuan misalnya mengajar, mempelajari, memikirkan, menguji dan menelaah di lembaga pendidikan atau lembaga penelitian dan pengkajian tanpa bermaksud untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.”
Pembatasan kajian paham dalam pasal ini menghambat kebebasan akademik. Dalam ketentuannya, studi tentang komunisme atau marxisme-leninisme hanya boleh dilakukan di lingkungan akademik formal. Namun, tidak dijelaskan apakah diskusi di media, komunitas intelektual, atau forum publik lainnya juga diperbolehkan. Ketidakjelasan ini membuat masyarakat takut berdiskusi dan menghambat perkembangan pemikiran kritis.
Jika akademisi atau jurnalis harus selalu waspada karena takut dijerat hukum, maka ruang diskusi akan semakin sempit, yang pada akhirnya merugikan perkembangan intelektual bangsa. Pasal 188 ayat (2) KUHP Baru juga menambah ancaman pidana jika penyebaran paham tersebut berujung pada kerusuhan atau korban jiwa. Tidak ada kriteria yang tegas mengenai bagaimana sebuah ajaran bisa dianggap sebagai penyebab langsung dari suatu kekacauan. Ini membuka peluang bagi aparat untuk menghubungkan ajaran paham tertentu dengan kejadian yang sebenarnya tidak ada kaitannya.
Secara keseluruhan, Pasal 188 KUHP Baru melanggar prinsip kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945, UU HAM serta ICCPR. Rumusan ketentuan yang kabur membuka ruang multitafsir dan bisa digunakan untuk menekan kebebasan akademik maupun politik seperti yang dialami oleh Heri Budiawan atau dikenal sebagai Budi Pego, seorang aktivis pembela lingkungan hidup. Selain itu, aturan ini tidak netral karena hanya menargetkan paham kiri, sementara ancaman dari ekstremisme lain tidak diatur secara seimbang. Jika KUHP ingin benar-benar menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, maka pasal ini harus dihapus agar tidak menjadi alat kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
Penulis: Adalbert Mayhard Tiwa (Mahasiswa Magang)