Pada 14 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dimakzulkan akibat dari penetapan darurat militer yang menimbulkan protes besar dari masyarakat Korea Selatan. Sebelumnya, pemakzulan tersebut telah diajukan pada 7 Desember 2024, namun gagal lantaran syarat didukung oleh 2/3 anggota Parlemen Nasional Korea Selatan tidak terpenuhi. Setelah mendapatkan persetujuan dari Parlemen Nasional Korea Selatan, langkah selanjutnya yakni menunggu persetujuan dari Mahkamah Konstitusi (MK) Korea Selatan.
Apabila pemakzulan disetujui oleh MK Korea Selatan, pemerintah Korea Selatan diberikan waktu 60 hari untuk memilih presiden baru menggantikan Yoon Suk Yeol. Selama waktu kekosongan jabatan tersebut, jabatan tertinggi akan diisi oleh perdana menteri untuk mengambil alih sebagai pelaksana tugas. Sebaliknya, jika putusan pemakzulan itu ditolak oleh MK Korea Selatan, maka Presiden Yoon Suk Yeol akan kembali menjabat hingga akhir masa jabatannya. Article 165 Konstitusi Korea Selatan menyatakan bahwa presiden dapat dimakzulkan dari jabatannya karena melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam melaksanakan kewajiban jabatannya.
Profesor Jimly Asshiddiqie menjelaskan, pemakzulan merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan. Atau sama dengan istilah ‘impeachment’ dalam konstitusi negara-negara Barat. Menurut Jimly, impeachment itu menuntut pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen kepada presiden, apabila presiden melanggar hukum. Dapat disimpulkan definisi pemakzulan presiden adalah proses memberhentikan presiden dari jabatannya.
Di Indonesia, ketentuan pemakzulan diatur dalam UUD NRI 1945 dan lebih rinci diatur dalam Ketetapan MPR. Namun, UUD NRI 1945 tidak menggunakan kata “makzul” melainkan kata “dihentikan” dan “pemberhentian.” Secara garis besar, mekanisme pemakzulan di Indonesia melibatkan 3 lembaga negara, yaitu DPR, MPR dan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 7A UUD NRI 1945 mengatur alasan pemberhentian Presiden oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Selanjutnya, Pasal 7B UUD NRI 1945 mengatur mekanisme usul pemberhentian presiden oleh DPR hanya dapat dilakukan melalui rapat yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR yang hadir. Adapun MPR hanya dapat memberhentikan presiden melalui rapat yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR serta disetujui paling sedikit oleh 2/3 anggota MPR yang hadir. Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan jika MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran presiden. Maka, sebelum tindak lanjut ke MPR, MK harus memberikan persetujuan ataupun penolakan atas pendapat mengenai pembentian Presiden oleh DPR. Dengan demikian, mekanisme pemakzulan presiden di Korea Selatan dan Indonesia terdapat kesamaan yakni usul pemberhentian presiden diajukan oleh lembaga legislatif dan diputuskan oleh lembaga yudikatif.
Penulis: Clivio Rahardjo, SH.