Restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang menekankan pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal, bukan pembalasan. Dalam restorative justice, semua pihak yakni pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait bertemu untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut. Berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol 8/2021), penanganan tindak pidana berdasarkan restorative justice ini harus memenuhi persyaratan umum yang diatur dalam Pasal 4 Perpol 8/2021 dan/atau khusus yang diatur dalam Pasal 7 Perpol 8/2021.
Meskipun pendekatan ini digunakan untuk pemulihan, tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui restorative justice salah satunya yakni kasus kekerasan seksual. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas menyatakan bahwa terhadap perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan. Akan tetapi, pada praktiknya, baik masyarakat maupun aparat penegak hukum masih sering melakukan kesalahan dalam menerapkan restorative justice, menganggap mediasi atau perdamaian antara pelaku dan korban sebagai upaya penyelesaian melalui restorative justice.
Hal tercermin dari kasus pemerkosaan oleh oknum residen anestesi dari PPDS FK UNPAD, Priguna Anugerah Pratama terhadap anak pasien dengan modus membuat korban tidak sadarkan diri saat proses pengambilan darah. Pihak Kuasa Hukum pelaku sempat mengatakan bahwa pelaku telah menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban, serta terdapat bukti perdamaian yang telah ditandatangani. Adapun disebutkan pula bukti pencabutan laporan korban. Bahkan pemaksaaan terhadap korban menikah dengan pelaku seperti yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja Kemenkop UKM pada tahun 2022 disebut sebagai upaya penyelesaian melalui mekanisme restorative justice, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 10 UU TPKS telah melarang pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku pemerkosaan.
Natalia Widiasih, Akademisi sekaligus spesialis Kesehatan Jiwa Konsultan Psikiatri Forensik, menjelaskan lima alasan restorative justice tidak dapat digunakan untuk semua perkara, termasuk dalam kasus kekerasan seksual, yaitu: (1) Memicu trauma saat pertemuan langsung antara korban dan pelaku; (2) Kekhawatiran pelaku akan mengambil kesempatan manipulasi korban untuk menerima dan meminimalkan kekerasan yang dilakukannya; (3) Perasaan beban pada korban untuk memastikan sendiri tindakan reparative yang telah disepakati akan benar dilakukan oleh pelaku; (4) sulit untuk menerapkannya secara ideal; (5) merasa tidak akan ditangani secara serius. Selain korban mengalami kerentanan berlapis, korban juga tidak mendapatkan pemulihan hak-hak melalui restitusi, kompensasi serta rehabilitasi sebagaimana mestinya.
Demikian, restorative justice pada prinsipnya tidak dapat diterapkan dalam kasus kekerasan seksual. Apabila kasus kekerasan seksual diselesaikan melalui mekanisme restorative justice, maka hal tersebut tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku dan proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Penulis: Clivio Rahardjo, SH.