Second Medical Use merupakan bentuk klaim invensi paten atas suatu obat yang sudah dikenal (baik terlindungi oleh Paten maupun tidak) dapat digunakan untuk mengobati suatu penyakit atau kondisi medis yang baru. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU No.13/2016) telah melarang adanya Second Medical Use.
Pasal 4 huruf f angka 1 UU No.13/2016 menyatakan: “Invensi tidak mencakup: f. temuan (discovery) berupa: penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/ atau dikenal. ” Penerapan larangan tersebut bertujuan untuk mencegah praktik patent evergreening yang dikenal sebagai upaya perusahaan farmasi untuk memperpanjang jangka waktu perlindungan hak paten dengan mempatenkan modifikasi terhadap obat-obatan yang telah ada namun minim inovasi atau tidak ada invensi. Tindakan ini dilakukan agar perusahaan farmasi memperpanjang masa hak monopoli paten sehingga memperoleh keuntungan yang lebih banyak dan dengan jangka waktu yang lama.
Namun, Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU No. 65/2024) telah menghapus ketentuan Pasal 4 huruf f UU No.13/2016 mengenai larangan Second Medical Use. Implikasinya adalah penggunaan Second Medical Use berupa klaim paten atas penggunaan baru dari suatu kandungan pada obat yang sudah dikenal sebelumnya dapat digunakan untuk penyakit lain di luar paten obat tersebut.
Sebagai contoh: Obat A digunakan sebagai obat flu dan sakit kepala. Akan tetapi, seseorang menemukan bahwa kadar pada obat A dapat digunakan untuk meredakan penyakit jantung. Orang itu dapat melakukan klaim paten atas penggunaan baru dari obat A untuk meredakan penyakit jantung. Dengan demikian, Second Medical Use diakui sebagai sebuah invensi paten selama memenuhi syarat kebaharuan dan langkah inventif.
Paten Second Medical Use diklaim akan sangat berguna bagi perkembangan industri farmasi karena memberikan kehidupan baru bagi produk yang sudah ada. Dengan mengamankan perlindungan untuk aplikasi baru, perusahaan farmasi dapat memperluas eksklusivitas pasar, mempertahankan daya saing, dan berpotensi menghasilkan aliran pendapatan baru.
Meskipun demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan juga dampak negatif akibat penghapusan larangan Second Medical Use yang mana memperluas hak monopoli paten, menunda masuknya obat generik yang lebih terjangkau, maupun dapat menghambat penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh perusahaan lain.
Penghapusan larangan Second Medical Use memicu pertanyaan etis mengenai memprioritaskan keuntungan dan kesejahteraan pasien. Apapun pendekatan yang digunakan pemerintah, tentu diharapkan terdapat keseimbangan antara pengembangan inovasi farmasi dan memastikan akses ke obat-obatan yang terjangkau.
Penulis: Clivio Rahardjo, SH.