Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Perjanjian Dengan Pihak Asing

Salah satu hal krusial yang perlu diperhatikan dalam menyusun perjanjian/kontrak oleh para pihak terutama jika salah satu pihak memiliki kewarganegaraan asing yaitu penggunaan Bahasa Indonesia dalam menyusun perjanjian. Meskipun para pihak sepakat untuk menyusun perjanjian dengan menggunakan bahasa asing lain seperti Bahasa Inggris, kewajiban individu untuk menggunakan Bahasa Indonesia telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009) dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63/2019) yang mana rumusan isi Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 memiliki kesamaan dengan isi Pasal 26 ayat (1) Perpres 63/2019 yakni “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.”

Kemudian, dalam Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009 dan Pasal 26 ayat (2) Perpres 63/2019 menyatakan “Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”. Makna dari ketentuan ini secara ekplisit menitikberatkan kembali penggunaan Bahasa Indonesia dalam menyusun perjanjian/kontrak bahkan ketika ada pihak asing yang terlibat. Baik UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak melarang penggunaan bahasa asing dalam menyusun perjanjian sehingga perjanjian dapat dibuat dalam dua bahasa. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan maka bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Perpres 63/2019.

Pada dasarnya, tidak ada sanksi yang diberikan apabila penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak terpenuhi. Bahkan KUHPerdata tidak mengatur penggunaan Bahasa Indonesia sebagai syarat sahnya perjanjian. Akan tetapi, berkaca dari Putusan Nomor 450/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU 24/2009 sehingga dinyatakan batal demi hukum maka sebaiknya para pihak tetap menggunakan Bahasa Indonesia dalam menyusun perjanjian guna menghindari pembatalan perjanjian oleh Pengadilan.

Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.