Baru-baru ini Presiden RI, Prabowo Subianto mengusulkan adanya perubahan sistem demokrasi di Indonesia. Inti usulan tersebut adalah bahwa kepala daerah, mulai gubernur, wali kota hingga bupati dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Wacana ini timbul sebab Presiden RI beranggapan bahwa sistem demokrasi pemilihan secara langsung dinilai mengeluarkan biaya yang terlalu mahal. Dengan adanya perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini, diharapkan dapat menghemat biaya sehingga anggaran negara bisa dialihkan untuk keperluan program pemerintah lainnya seperti makan bergizi gratis bagi anak-anak hingga perbaikan sekolah.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan bahwa jika merujuk pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945), terdapat dua jalan untuk mewujudkan wacana tersebut. Pertama, dengan menggunakan mandat tunggal yaitu rakyat memilih wakilnya di lembaga legislatif baik di tingkat pusat (DPR), provinsi (DPRD Provinsi), maupun kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) yang selanjutnya DPRD (lembaga legislatif) yang memilih gubernur, bupati, wali kota. Kedua, mandat terpisah yaitu rakyat memilih secara langsung perwakilannya untuk duduk di lembaga legislatif termasuk juga memilih kepala daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Kedua model tersebut sama-sama memiliki derajat demokratisnya masing-masing.
Pada dasarnya dalam Pilkada memiliki 3 fungsi penting dalam pengelolaan pemerintahan daerah meliputi:
- 1. Memilih kepala daerah yang dapat memahami dan mewujudkan keinginan masyarakat di daerah.
- 2. Pemilihan kepala daerah seharusnya didasarkan pada visi, misi, program, kualitas, dan integritas calon kepala daerah yang sangat menentukan keberhasilan pemerintahan di daerah.
- 3. Pemilihan kepala daerah merupakan sarana pertanggungjawaban dan evaluasi publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang mendukungnya.
Namun, jika Pilkada dilakukan dengan cara mandat tunggal oleh DPRD, akan sulit untuk memenuhi ketiga fungsi tersebut.
Hal ini dikarenakan pilkada yang dilakukan dengan cara mandat tunggal oleh DPRD tidak sesuai dengan gagasan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan adanya pemilihan langsung dimana rakyat memilih sendiri kepala daerahnya, maka akan menempatkan rakyat yang punya dasar dalam kerangka kedaulatan rakyat, memastikan pemerintahan itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahwa ciri lain dari negara demokratis adalah kedaulatan rakyat, yang berarti bahwa masyarakat harus terlibat dalam kehidupan politik agar mereka dapat memilih pemimpin mereka dan menentukan kebijakan publik untuk seluruh warga negara. Pemilihan secara langsung menjadi sarana bagi rakyat untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kedaulatan. Konsep ini mengimplikasikan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara dan mereka sendiri yang menentukan bentuk dan cara pemerintahan dijalankan. Secara umum, Pemilihan secara langsung bertujuan untuk memastikan bahwa peralihan kekuasaan pemerintahan terjadi secara damai, teratur, dan sesuai dengan mekanisme yang dijamin dan diatur oleh konstitusi.
Sedangkan Pilkada melalui mandat tunggal DPRD tidak menjamin bahwa kepala daerah yang terpilih akan memenuhi kehendak masyarakat di daerah. Robert Endi Jaweng, selaku Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menegaskan bahwa “DPRD akan lebih mengutamakan kepentingannya sendiri bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat”. Hal ini mengingat DPRD berasal dari partai politik sehingga terdapat potensi pertentangan kepentingan antara rakyat dengan partai politik. Di samping itu, Pilkada yang pemilihannya dilakukan oleh DPRD dapat mengakibatkan munculnya sentralisasi kekuasaan. Artinya bahwa dengan adanya pemilihan tidak langsung dapat memudahkan suara rakyat untuk dikendalikan oleh beberapa orang yang berkepentingan.
Dapat disimpulkan bahwa usulan perubahan sistem Pilkada demi penghematan anggaran negara bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Meskipun Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak menjelaskan seperti apa kriteria pemilihan kepala daerah yang demokratis, akan tetapi pemilihan kepala daerah melalui mandat tunggal oleh DPRD berisiko mengurangi partisipasi publik dan mengarah pada krisis demokrasi representatif. Hal ini mengingat DPRD mungkin lebih mengutamakan kepentingan politis dan bukan kehendak rakyat. Selain itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD bisa menyebabkan sentralisasi kekuasaan yang berbahaya, di mana keputusan-keputusan besar dapat didominasi oleh segelintir orang dengan kepentingan tertentu. Demikian, tidak seharusnya kedaulatan rakyat dikorbankan demi menghemat anggaran negara. Sebaliknya, pemerintah semestinya mencari jalan guna memastikan partisipasi aktif rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan publik tetap terlaksana semaksimal mungkin.
Penulis: Gita Rismawati, SH. dan Clivio Rahardjo, SH.
Editor : Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.