Judi online atau yang lazim disebut dengan judol merupakan fenomena yang telah meluas di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari generasi muda hingga dewasa. Menurut Ratna Azis Prasetyo, S.Sos., M.Sosio., dosen Departemen Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), tekanan kemiskinan dan keinginan untuk mencapai tujuan secara instan menjadi pemicu individu untuk terlibat dalam judol. Faktor sosial seperti lingkungan pergaulan yang mendukung aktivitas kejahatan dan budaya yang menganggap judi sebagai hal lumrah turut memperbesar risiko keterlibatan dalam fenomena ini.
Kemajuan teknologi informasi telah menjadi pedang bermata dua bagi masyarakat. Di satu sisi, internet membuka akses terhadap berbagai informasi, tetapi di sisi lain juga mempermudah akses ke platform judol. Maraknya fasilitas pinjaman online atau pinjol turut mendorong daya tarik judol, meski dampaknya sangat merugikan. Tidak jarang, para pelaku judol melakukan tindak kriminal, seperti pencurian motor, aktivitas begal, bahkan tindak kekerasan dalam rumah tangga hingga menghilangkan nyawa, demi memperoleh dana untuk kembali bermain. Fenomena ini mendorong desakan masyarakat agar pemerintah lebih serius memberantas judol dan mendukung gerakan anti-judol.
Dalam konteks hukum, judol menjadi salah satu fokus dalam peraturan yang diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE memberikan dasar hukum bagi penanganan kejahatan siber, termasuk judol. Pasal 27 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan perjudian, diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.“
Namun, dengan adanya perubahan melalui UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, pemerintah memperketat regulasi terhadap judol yang berbasis digital dan peningkatan sanksi menjadi upaya pencegahan dan memberlakukan efek jera.
Tujuan dari perubahan UU ITE selain dari pada faktor sosial yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada pula 2 Teori yang dapat mendukung perubahan tersebut yakni Teori Relatif oleh Karl O. Christiansen dan Teori Efek Jera oleh Wayne R. Lafave.
Teori Relatif (Karl O. Christiansen)
Teori relatif menekankan bahwa tujuan utama pemidanaan adalah melindungi masyarakat dan mencegah terulangnya kejahatan melalui pendekatan yang bersifat preventif. Dalam kaitannya dengan peningkatan sanksi dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE UU Nomor 1 Tahun 2024, teori ini relevan karena hukuman yang lebih berat dirancang untuk menanggulangi kejahatan siber secara efektif. Hukuman yang lebih tegas diharapkan dapat mencegah pelaku baru muncul, memberikan perlindungan bagi masyarakat dari dampak negatif tindak kejahatan, dan menciptakan lingkungan yang lebih aman. Selain itu, hukuman berat berperan penting dalam melindungi masyarakat dari dampak merugikan seperti kecanduan, kehancuran sosial, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kejahatan berbasis teknologi, termasuk aktivitas perjudian online (judol). Dengan demikian, teori ini menegaskan pentingnya pemidanaan yang bersifat preventif untuk menjaga tatanan sosial dan melindungi masyarakat secara keseluruhan dari bahaya kejahatan yang semakin kompleks.
Teori Efek Jera (Eddy O.S. Hiariej)
Teori efek jera menekankan bahwa pidana harus memberikan rasa takut kepada pelaku dan calon pelaku agar tidak melakukan tindak pidana. Dalam konteks peningkatan sanksi pada UU ITE, hukuman yang lebih berat bertujuan untuk menciptakan efek jera yang lebih besar. Misalnya, peningkatan hukuman penjara dari 6 tahun menjadi 10 tahun dan denda maksimal dari Rp1 miliar menjadi Rp 10 miliar bertujuan untuk mencegah pelaku mengulangi tindak kejahatan sekaligus memberikan peringatan tegas kepada calon pelaku. Di sisi lain, ancaman hukuman berat juga bertujuan mengurangi aksesibilitas masyarakat terhadap aktivitas judol dengan cara menghalangi calon pelaku untuk mencoba atau terlibat di dalamnya. Dalam era digital, ketika akses terhadap platform judol semakin mudah, efek jera menjadi sangat penting untuk melawan kecenderungan tersebut. Hukuman yang signifikan tidak hanya melindungi masyarakat, tetapi juga menciptakan rasa aman di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
Fenomena judol merupakan masalah serius yang meluas di berbagai lapisan masyarakat, dipicu oleh tekanan ekonomi, keinginan mencapai hasil instan, pengaruh sosial, dan kemudahan akses teknologi. Dampak negatif dari judol mencakup kerugian ekonomi, kehancuran sosial, peningkatan tindak kriminal, hingga ancaman terhadap keselamatan masyarakat. Peran teknologi informasi yang mempermudah akses ke platform judol, serta maraknya fasilitas pinjaman online atau pinjol, semakin memperburuk situasi.
Respon pemerintah akan hal tersebut dengan cara memperkuat regulasi melalui perubahan UU ITE dalam UU Nomor 1 Tahun 2024. Perubahan ini mencakup peningkatan hukuman dan denda untuk menciptakan efek jera dan mempersempit ruang gerak aktivitas judol. Pendekatan preventif yang dijelaskan melalui Teori Relatif menekankan perlindungan masyarakat dari kejahatan berbasis teknologi, sementara Teori Efek Jera bertujuan untuk mencegah pelaku baru dan mengurangi risiko kejahatan berulang.
Upaya pemberantasan judol memerlukan sinergi antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Dengan regulasi yang tegas, peningkatan kesadaran masyarakat, dan kerja sama dari berbagai elemen masyarakat dan perangkat pemerintahan, diharapkan ruang lingkup dan dampak judol dapat ditekan, sehingga tercipta masyarakat yang lebih aman dan sejahtera.
Penulis: Adalbert Mayhard Tiwa (Mahasiswa Magang)
