Dalam hukum perdata, dikenal asas-asas yang berperan sebagai landasan/pedoman dalam menyusun suatu perjanjian dan salah satunya yaitu asas pacta sunt servanda. Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin ‘janji harus ditepati’ (agreements must be kept) mengandung makna bahwa:
- 1.Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan
- 2.Mengisaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi
Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat secara sah dipandang sebagai hukum yang harus ditaati oleh para pihak. Adanya daya ikat hukum suatu perjanjian tersebut dipertegas dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1), “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian diatas, akan ada akibat hukum yang sifatnya memaksa pihak terkait untuk mempertanggungjawabkan kelalaian tersebut. Ketidakpatuhan pihak dalam melaksanakan perjanjian akan dibuktikan melalui pelaksanaan asas itikad baik.
Aktualisasi pelaksaaan asas itikad baik dari suatu janji antara lain dapat diilustrasikan sebagai berikut:
- 1.Para pihak harus melaksanakan ketentuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan tujuan perjanjian itu sendiri;
- 2.Menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan/atau dibebani kewajiban (kalau ada);
- 3.Tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku maupun setelah perjanjian itu mulai berlaku.
Konsekuensi lain dari berlakunya asas pacta sunt servanda yaitu hakim atau pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian.
Penulis: Cathryna Gabrielle Djoeng, SH.