Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai Natural Rights adalah dimana posisi HAM tidak dapat dipengaruhi oleh apapun juga baik dalam hal dikurangi, dihilangkan, bahkan dirampas termasuk oleh Negara. Dalam tulisan berjudul Natural Rights, Positive Rights, and the Right to Keep and Bear Arms, Jud Campbell menjelaskan bahwa warga negara Amerika memahami natural rights sebagai kapasitas manusia dalam suatu keadaan tanpa pemerintah. Hak-hak yang dimaksud mencakup segala jenis kemampuan manusia yang tidak perlu bergantung terhadap otoritas pemerintah yakni berpikir, membaca, berbicara, makan, menikmati hasil kerja dan lain sebagainya. HAM dalam normanya yaitu “kemanusiaan” bersifat inheren atau tidak dapat dipisahkan oleh dalam diri manusia sejak ia lahir. Semua hal tersebut adalah sifat dari kemanusiaan “naturally human being” atau secara alamiah sebagai manusia yang hidup sebagaimana mestinya sebagai sifat dari natural rights.
Titon Slamet Kurnia, dalam bukunya berjudul Interpretasi HAM oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggambarkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai natural rights melalui kutipan sebagai berikut, “they are not acquired, nor can they be transferred, disposed of or extinguished, by any act or event; they inherent universally in all human beings, throughout their lives, in virtue of their humanity alone, and they are inalienable.”
Berangkat dari penjelasan tersebut, HAM tidak diperoleh melainkan inheren dalam diri manusia secara universal (natural rights) karena kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dan diasingkan dari diri manusia (inalienable) bahkan Negara sekalipun tidak dapat memisahkan HAM dalam normanya yaitu “kemanusiaan” terhadap diri manusia. Hak yang inalienable dimaksud yakni walaupun negara yaitu pemerintah berwenang membuat konstitusi atau peraturan perundang-undangan, tetapi pemerintah tidak boleh menghapus, memisahkan, mengasingkan HAM.
HAM tidak dapat dipisahkan dari Negara. Hal ini karena adanya Hukum yang mengatur tentang perbuatan Pemerintahan. Hukum berfungsi sebagai “perisai” bagi setiap individu terhadap pemerintah, dan “pembatasan” terhadap pemerintah kepada individu. Dalam kepustakaan hukum Indonesia dikenal istilah “konstitusi”. Konstitusi dalam urusan utama atau bisnis utamanya adalah “membentuk pemerintah”. Dalam arti lain, Hukum membentuk pemerintah. Jika negara tidak diatur atau diikat oleh hukum, maka negara akan dengan mudah untuk semena-mena dan bebas, dalam pengertian sempit maka adanya (konstitusi) yang mengikat pemerintah.
Dengan demikian dapatlah pengertian bahwa HAM juga masuk ke dalam cakupan atau area antara hubungan Negara dan Individu. Meskipun Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, tetapi dalam praktik ketatanegaraannya, Pemerintah diikat dan diatur dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan, adanya “konstitusionalisme” atau pandangan akan konstitusi yang ideal yaitu sebuah pemikiran yang menentang absolutisme. Absolutisme secara sederhana dijelaskan sebagai kekuasaan yang mutlak, cenderung akan korup atau bertindak buruk, seperti yang dijelaskan oleh Lord Acton, power tends corrupt, absolute power, corrupt absolutely.
Tidak dipisahkannya HAM dari Negara justru akan menjadikan posisi HAM hidup sebagaimana mestinya. Konstitusi yang berfungsi sebagai “Perisai” terhadap HAM justru akan menjadikannya hidup karena sifatnya “kemanusiaan” itu sendiri. Dengan tidak dipisahkannya HAM dari Negara diharapkan adanya dorongan konstitusi untuk menaruh komitmen penuh terhadap “konstitusionalisme” atau suatu konstitusi yang ideal. Negara dalam praktiknya tidak diperbolehkan merampas hak alamiah warga negaranya (natural rights) karena sifatnya yang inalienable.
Penulis: Andy Felix Sugiono (Mahasiswa Magang)