Masih ingat dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh Valencya karena memarahi suaminya yang mabuk? Dalam kasus tersebut Valencya yang awalnya di tuntut 1 (satu) tahun penjara menjadi tuntutan bebas oleh Jaksa Penuntut Umum atas kasusnya.
Pada awal perkara, Valencya dikenakan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 5 huruf Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Berdasarkan Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah)”. Namun, kasus Valencya berujung tuntutan bebas oleh Jaksa Penuntut Umum. Tuntutan bebas tersebut menjadi tanda tanya, apakah Jaksa Penuntut Umum memang dapat menjatuhkan tuntutan bebas kepada Terdakwa?
Menurut Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa, jika ditinjau dari segi wewenang penuntutan, boleh dikatakan pada pemeriksaan sidang inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut umum, dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa. Sementara pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Berdasarkan penjelasan diatas, terlihat bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Valencya menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Meskipun bertentangan, tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum telah sesuai dengan hal yang dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum menyebutkan bahwa “Penuntut Umum mengajukan tuntutan bebas (vrijspraak) dalam hal: (a) kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan; (b) tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terpenuhinya unsur tindak pidana; dan/atau (c) tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah karena alat bukti yang diajukan di depan persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah.”. Pedoman diatas menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum memang dapat mengajukan tuntutan bebas dengan syarat-syarat tertentu.
Pengajuan tuntutan bebas merupakan hasil dari tindakan eksaminasi khusus yang diterapkan oleh Jaksa. Eksaminasi Khusus merupakan eksaminasi terhadap berkas perkara tertentu yang mendapat perhatian dari masyarakat atau perkara lain yang menurut penilaian pimpinan perlu dilakukan eksaminasi, baik terhadap perkara yang sedang ditangani maupun yang telah selesai ditangani oleh jaksa/penuntut umum dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuan dari Eksaminasi adalah untuk meningkatkan profesionalitas teknis yuridis maupun administrasi perkara dari seorang jaksa/penuntut umum dalam menerapkan hukum formil maupun materiil dan ketentuan lain yang berlaku dalam penyelesaian dan penanganan perkara. Selain itu eksaminasi bertujuan untuk melakukan penelitian dan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh jaksa tentang kemungkinan adanya kekurangsempurnaan atau kelemahan yang bersifat teknis yuridis maupun administrasi perkara yang menyebabkan perkara tidak berjalan seperti semula.
Demikian, dalam hukum positif, pada studi kasus Valencya dianggap sah dan mengikat secara hukum berdasarkan legalitas regulasi yang diterapkan oleh Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menerapkan asas oportunitas dalam suatu perkara.
Penulis: Vania Romasta Siahaan (Mahasiswa Magang)