Didorong oleh kekhawatiran terhadap banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas guna melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan seksual salah satunya dengan menerapkan kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Kebiri kimia adalah tindakan penyuntikan hormon anti-testosteron kepada Terpidana dengan cara menekan produksi dan aktivitas dari hormon testosteron sehingga sehingga mampu mengurangi libido Terpidana dengan pengaruh dari penyuntikan zat kimia tersebut. Pelaksanaan Kebiri Kimia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP No. 70/2020).
Namun, terbitnya PP No. 70 Tahun 2020 menimbulkan banyak penolakan dan praktiknya bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebiri kimia bertentangan dengan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), dalam Pasal 28G ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan : “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain” dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Dalam hal ini, Konstitusi sebagai perisai Hak Asasi Manusia tidak memperkenankan Pemerintah untuk meniadakan dan mengurangi Hak Asasi Manusia tiap warga negaranya tanpa terkecuali.
Di samping itu, pelaksanaan kebiri kimia bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Hal ini tercermin dalam kasus penjatuhan hukuman kebiri kimia terhadap Terpidana kasus predator sembilan anak di Mojokerto, yakni Muh Aris bin Syukur oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto. Aris dianggap melanggar Pasal 76D jo Pasal 81 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto juga sebagai eksekutor pelaksana meminta petunjuk pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga masih berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung dalam rangka konsultasi kepada pimpinan mengenai pelaksanaan teknisnya.
Pada kasus yang terjadi di PN Mojokerto tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak terlibat dalam penjatuhan sanksi kebiri kimia atas dasar larangan kode etik profesi kedokteran. IDI berpendapat bahwa kebiri kimia itu bukan merupakan pelayanan medis. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ketua IDI yang menjelaskan bahwa profesi dokter merupakan sebuah profesi yang membantu untuk mengupayakan kesembuhan bagi para pasiennya dan bukan untuk merusaknya. Apabila seorang Dokter melaksanakan eksekusi dalam pelaksanaan putusan pidana kebiri kimia, maka Dokter tersebut akan dikenakan pelanggaran kode etik.
Tindakan Kebiri kimia diharapkan sebagai perbaikan atau pemulihan terhadap pelaku tindak pidana serta melindungi masyarakat. Namun pada kenyataannya (das sein), konsekuensi dari sanksi Kebiri Kimia memberikan efek penderitaan kepada Pelaku, dan cenderung merupakan pembalasan semata. Selain itu pelaksanaan tindakan kebiri sama sekali tidak mencerminkan upaya melakukan perbaikan serta rehabilitasi terhadap korban namun lebih kepada pembalasan atas nama korban yang kemanfaatannya juga dipertanyakan.
Jika kita melihat ketentuan Pasal 81 ayat 8 UU Perlindungan Anak sangatlah jelas bahwa dalam aturan tersebut sanksi bagi pelaku kejahatan seksual cenderung sebagai double punishment, sanksi pidana dan tindakan namun secara esensial sama, keduanya mengarah kepada pembalasan terhadap pelaku, hal tersebut bertentangan dengan ide dasar sanksi tindakan itu sendiri yang seharusnya berorientasi pada memperbaiki pelaku, bukan memberikan penderitaan sedangkan sanksi kebiri kimiawi bukanlah merupakan suatu bentuk sarana rehabilitasi yang bisa memperbaiki atau merehabilitasi pelaku kejahatan seksual.
Demikian, Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang (review) mengingat pelaksanaan kebiri kimia ini tidak memenuhi aspek kepastian hukum. Pemerintah perlu mempertimbangkan sanksi pidana yang lebih mengedepankan rehabilitasi bukan hanya pembalasan semata kepada pelaku.
Penulis: Andy Felix Sugiono (Mahasiswa Magang)